25 January 2025

Rendy Suawa
Ketua KPU Minahasa, Rendy Suawa (foto: dok pribadi)

Aspek Hukum Penggunaan Teknologi Informasi dalam Pemilu dan Pemilihan

Introduksi: Pemilu di Era Teknologi Informasi

Setiap aktivitas dipengaruhi oleh kondisi perkembangan zaman. Demikian juga dengan aktivitas demokrasi elektoral yaitu pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pemilihan; popular juga dengan sebutan pilkada). Indonesia telah beberapa kali melaksanakan pemilu dan pemilihan secara langsung. Negara kita telah mengalami berbagai dinamika pasang surut momentum demokrasi elektoral tersebut.

Dalam perjalanan historis penyelenggaraan pemilu, aspek-aspek teknis penyelenggaraan pemilu atau tata kelola kepemiluan kita selalu mengikuti perkembangan zaman. Tak terkecuali, event demokrasi elektoral yang telah dan akan kita hadapi yaitu Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024. Pesta demokrasi lima tahunan tersebut dilaksanakan dalam sebuah konteks zaman yang dominan yaitu: perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat.

Dengan kondisi ini, penyelenggara pemilu perlu memikirkan langkah-langkah atau strategi adaptasi menghadapi perkembangan teknologi informasi. Karena pemilu dan pemilihan dilaksanakan berdasarkan kerangka hukum yang mengatur dan membatasinya, maka strategi adaptasi tersebut harus memiliki dasar hukum yang jelas.

Seperti apa langkah-langkah adaptasi penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menata dan mengelola penyelenggaraan pemilu di era perkembangan teknologi informasi? Bagaimana aspek hukumnya? Dua pertanyaan tersebut yang coba dibahas dalam tulisan ini.

Kerangka Hukum dan Tahapan Pemilu dan Pemilihan

Tulisan ini membahas terkait dua agenda demokrasi elektoral yang hari pemungutan suaranya jatuh di tahun yang sama, yaitu tahun 2024. Dua agenda tersebut adalah pemilu dan pemilihan/pilkada. Pemilihan umum atau pemilu, dan pemilihan kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota) atau menurut undang-undang pemilihan disebut singkat dengan kata  “pemilihan”, merupakan dua hal yang memiliki sifat substantif dan teknis-operasional yang sama, namun kedudukan normatif dan rejim yang berbeda.

Secara substantif memiliki kesamaan, karena baik pemilu maupun pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih para pemimpin bangsa. Secara operasional sama, karena keduanya dilaksanakan dengan tahapan-tahapan teknis-operasional yang relatif sama.

Namun demikian, dalam perspektif normatif-konstitusional, pemilu dan pemilihan dipandang sebagai 2 rejim yang berbeda. Konstitusi negara kita, UUD NRI 1945 memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan pemilu hanyalah pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD (pemilu legislatif/pileg) dan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres).

Pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam rejim pemilu menurut konstitusi kita, karenanya wadah kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin daerah gubernur dan wakil gubenur, bupati/walikota dan wakil bupai/wakil walikota tidak menggunakan nomenklatur pemilihan umum melainkan (hanya) ‘pemilihan’.

Dari aspek kerangka hukum, untuk Pemilu 2024, masih tetap menggunakan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Undang-undang tersebut secara umum mengatur tentang penyelenggara pemilu, pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden, serta pemilu anggota legislatif yakni: DPR, DPD dan DPRD.  Pelaksanaan pemungutan suara pemilu serentak akan dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024 berdasarkan Keputusan KPU Nomor 21 tahun 2022 tentang Hari dan Tanggal Pemungutan Suara Pemilu Tahun 2024

Sedangkan untuk penyelenggaraan pemilihan/pilkada, kita masih menggunakan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang tersebut telah mengalami tiga kali perubahan yaitu melalui UU 8/2015, UU 10/ 2016 dan UU 6/2020. UU 1/2015 dan tiga UU sebagai perubahan tersebut harus dipahami sebagai satu kesatuan.

Sebelum Perpu 1/2014 ditetapkan dengan UU 1/2015, sebelumnya pelaksanaan pemilihan mengacu pada UU 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD.

Namun regulasi tersebut mendapat penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kepentingan yang memaksa sebagaimana disinggung dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dimana kedaulatan rakyat dan demokrasi sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati dan walikota.

Ditegaskan pula pada Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016  bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota di seluruh wilayah NKRI dilaksanakan pada bulan November 2024.

Terkait tahapan pemilu, ketentuan Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017 mengatur adanya tahapan pemilu yang harus dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU yaitu: perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu, pemutahiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu, penetapan peserta pemilu, penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, pencalonan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, masa kampanye pemilu, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, dan pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Sedangkan tahapan penyelenggaraan pemilihan diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU 8/2015 meliputi: pengumuman pendaftaran pasangan calon, pendaftaran pasangan calon, penelitian persyaratan calon, penetapan pasangan calon, pelaksanaan kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara, penetapan calon terpilih, penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilihan, dan pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.

Pelaksanaan setiap tahapan diatur melalui Peraturan KPU sebagaimana dalam Pasal 75 ayat (1) dan (2) UU 7/2017 yang menyatakan bahwa untuk menyelenggarakan pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan Keputusan KPU. Peraturan KPU merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Diatur juga dalam ketentuan Pasal 5 ayat (4) bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tahapan persiapan dan penyelenggaraan pemilihan diatur dengan Peraturan KPU.

Untuk penyelenggaran Pemilu 2024, KPU telah menerbitkan Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024. Peraturan KPU tersebut mengatur tahapan dan jadwal secara umum. Untuk setiap tahapan penyelenggaraan akan memiliki Peraturan KPU tersendiri yang akan mengatur lebih detail teknis pelaksanaan serta jadwal penyelenggaraan tahapan pemilu. Semua Peraturan KPU merupakan bagian dari kerangka hukum pemilu, di mana kerangka hukum pemilu itu pulalah yang akan menjadi dasar penerapan teknologi informasi pemilu.

Prinsip Penggunaan Teknologi Informasi Pemilu

Teknologi informasi bisa dimanfaatkan diberbagai proses pemilu dan pemilihan termasuk untuk kebutuhan KPU sebagai lembaga yang melaksanakan proes elektoral. Juga bisa dimanfaatkan oleh peserta pemilu atau masyarakat umumnya.

Administration and Cost of Election (ACE) Project menyarankan setiap penyelenggara Pemilu untuk memperhatikan 12 prinsip penggunaan teknologi dalam pemilu, yaitu:

  1. Penilaian yang holistik terhadap kemajuan teknologi. Sebagai sebuah instrumen atau alat bantu, penggunaan teknologi memerlukan kajian dan pertimbangan pilihan teknologi apa yang akan digunakan, untuk kebutuhan apa, dan pada tahapan pemilu apa. Selain itu penting juga meninjau kerangka hukum yang berlaku;
  2. Mempertimbangkan dampak dari penerapan teknologi. Saat teknologi akan diterapkan atau sebuah sistem baru akan diimplementasikan untuk mengganti sistem lain, evaluasi terhadap sistim sebelumnya sangatlah dibutuhkan dalam rangka mengukur dampak dan nilai perubahan, termasuk apakah tujuan dari penggunaan teknologi akan tercapai atau tidak;
  3. Menjaga transparasi dan etika. Pertanyaan kunci yang harus dijawab sebelum menerapkan teknologi informasi dalam pemilu ialah sejauh mana sistem yang dibangun mampu menghasilkan keterbukaan dan mudah diakses oleh publik. Hal ini penting guna membangun kepercayaan publik terhadap sistim informasi tersebut;
  4. Memperhatikan dan memastikan keamanan Teknologi. Tingkat keamanan harus menjadi proriotas utama dari teknologi pemilu yang digunakan, sistem keamanan wajib diuji dan ditunjukan kepada publik agar sistem tersebut dapat dipercaya;
  5. Mengukur akurasi yang dihasilkan. Pengukuran teknologi harus diuji seberapa jauh tingkat akurasinya dalam rangka meminimalisir manipulasi;
  6. Memastikan kerahasiaan. Asas pemilu rahasia pada tahapan pemungutan suara haruslah tercapai ketika pilihan terhadap teknologi tertentu diterapkan. Data-data pribadi pemilih termasuk hasil pilihan pemilih di bilik suara harus terjaga dengan baik dan dapat dipastikan tidak dapat dilihat oleh pihak manapun;
  7. Memastikan inklusifitas. Penggunaan teknologi haruslah aksesibel dan mudah digunakan oleh siapapun. Untuk itu konsultasi dengan semua pemangku kepentingan seperti pemilih sangat penting dalam rangka memastikan tidak ada yang dirugikan dan kesulitan dalam penggunaan teknologi pemilu;
  8. Mempertimbangkan efektivitas biaya. Sebelum memutuskan penggunaan teknologi salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan ialah besaran biaya yang aaka dikeluarkan. Pertimbangan daya jangkau penggunaan dan masa waktu pemanfaatn dapat dijadikan indikator apakah besaran biaya yang dikeluarkan sepandan dengan penggunaan teknologi tersebut;
  9. Salah satu tujuan utama dari penggunaan teknologi ialah untuk menciptakan efisiensi. Pertanyaan ini harus terjawab secara baik ketika menjatuhkan pilihan pada teknologi tertentu. Untuk itu, menjadi penting untuk memastikan apakah sistem teknologi yang digunakan lebih efisien dibandingkan dengan sistem sebelumnya;
  10. Evaluasi berkelanjutan teknologi. Apakah teknologi tersebut memiliki masa waktu penggunaan yang lama? Atau justru sekali pakai? Dua pertanyaan ini penting untuk diajukan karena menyangkut prinsip efisiensi dan juga besaran biaya yang dikeluarkan. Jika sebuah teknologi dapat digunakan secara berkelanjutan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, maka teknologi tersebut dapat dikatakn efisien dan efektif untuk diterapkan dalam jangka panjang;
  11. Fleksibilitas teknologi dengan regulasi pemilu. Pemilihan teknologi yang akan diterapkan harus dapat menyesuaikan/fleksibel dengan konteks regulasi pemilu yang diterapkan di suatu negara di tengah situasi regulasi pemilu yang sering kali dinamis atau dapat berubah-ubah dari pemilu ke pemilu;
  12. Mudah digunakan dan dipercaya masyarakat. Cara kerja teknologi haruslah mudah dipahami dan mudah digunakan oleh pemilih. Kemudahan ini akan mendorong kepercayaan pemilu terhadap sistem teknologi yang dibangun oleh penyelenggara pemilu. Sehingga harapannya tidak ada resistensi atau penolakan terhadap sistem yang digunakan.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat memberi peluang pengelolaan data dan informasi yang cepat dan akurat sehingga perlu dimanfaatkan oleh KPU dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya.

Penerapan teknologi informasi pemilu pada masa reformasi menggunakan teknologi dalam menunjang aktivitas penyelenggara pemilu. Kita masih ingat ketika hasil Pemilu 1999 mulai didigitalisasi dengan cara dientri ke komputer pada tingkat KPU Kabupaten/Kota. Pada Pemilu 2004, penggunaan teknologi tidak hanya untuk menyimpan data hasil pemilu, tetapi juga dimasudkan untuk efektivitas proses rekapitulasi. Sehingga harapannya masyarakat terutama peserta pemilu dapat mengetahui hasil pemilu dengan cepat. Formulir C1 IT disediakan di tingkat kecamatan untuk dientri oleh operator untuk dikirim ke data center KPU, data ini kemudian ditabulasi di Pusat Tabulasi Nasional Pemilu dan ditampilkan di website sehingga masyarakat dapat melihat secara langsung real count hasil pemilu.

Dalam perjalanannya pengembangan teknologi informasi tidak hanya sebatas pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara, namun lebih jauh pada penggunaan teknologi sejak Pemilu 2014 masif digunakan di setiap tahapan yang salah satu tujuan utamanya ialah untuk efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemilu, memberikan transparansi proses pemilu, memberikan pendidikan politik, dan membangun kepercayaan publik.

Beberapa teknologi informasi yang digunakan dalam pemilu dan pemilihan pada tahapan penyelenggaraan  terakhir yakni Pemilu 2019 dan Pemilihan Tahun 2020, diantaranya: Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih), Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng), Sistem Informasi Pencalonan (Silon), Sistem Informasi Rekapilulasi Suara (Sirekap), dan Sistem Informasi Logistik (Silog).

Aspek Hukum Penggunaan Teknologi

Perubahan dalam masyarakat merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak dalam aspek kehidupan bermasyarakat baik itu dalam bidang teknologi, politik maupun hukum. Teknologi informasi yang berkembang pesat berdampak pada perubahan masyarakat yang sangat signifikan yang membuat hukum harus beradaptasi dengan perubahan masyarakat itu sendiri. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat tidak selalu langsung dapat diakomodir oleh hukum, seringkali masalah hukum telah terjadi terlebih dahulu baru kemudian dapat dirumuskan regulasi yang mengatur masalah yang ada. Teknologi informasi sangat berguna dalam kehidupan masyarakat tetapi juga jika tidak diakomodir oleh ketentuan-ketentuan hukum maka penyalah gunaan teknologi informasi dapat menggangu ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

Penggunaan teknologi informasi yang lebih mempermudah kehidupan dalam masyarakan dan bermasyarakat dapat juga dipakai untuk menjadi alat Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan untuk membuat proses Pemilu dan Pemilihan lebih efisien dan transparan sehingga meningkatkan kepercayaan Publik pada Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan. Oleh karena itu sebagai instrumen demokrasi, Pemilu dan Pemilihan dalam penyelenggaraannya diperlukan alat bantu teknologi informasi yang menjadi sarana penunjang kerja-kerja penyelenggara. Sebagai alat bantu untuk menunjang kerja-kerja penyelenggara maka teknologi informasi yang digunakan oleh penyelanggara sudah seharusnya diperlukan instrumen hukum yang menjadi dasar legitimasi penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan tahapan Pemilu dan Pemilihan.

Roscoue Pound, menyatakan bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat  (law  a  tool  of  social enginering ).Dalam makna di atas, Pound menjelaskan bahwa perancang peraturan haruslah menempatkan hukum sebagai instrumen  untuk mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih  baik.  Hukum  harus dipandang sebagai alat untuk mengubah  masyarakat.  Untuk  dapat memenuhi peranan hukum sebagaimana pandangan Pound di atas,  maka dibuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yakni : pertama, kepentingan umum atau (public interest) dimana ada kepentingan negara sebagai badan hukum dan kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.

Penggolongan Kedua. adalah kepentingan masyarakat atau (social interest) yaitu kepentingan akan kedamaian dan ketertiban.perlindungan lembaga lembaga sosial dan pencegahan kemorosotan moral serta pencegahan pelanggaran hak. Penggolongan ketiga, adalah kepentingan pribadi yakni kepentingan individu, keluarga dan hak milik.Perkembangan  teknologi  informasi telah mengubah sistem kehidupan politik dan demokrasi suatu negara. Perkembangan tersebut juga turut merubah kebijakan hukum suatu negara hukum demokrasi. Sesuai ajaran Roscoe Pound  tentang  hukum yang berfungsi sebagai rekayasa sosial masyarakat atau sebagai alat pengontrol masyakarat, maka hukum harus selalu menjamin keamanan setiap perkembangan masyarakat termasuk teknologi informasi.

Penerapan sistem informasi digitalisasi pemilu pada pemilu 2014 dan pemilu 2019 seperti Sipol dan Situng serta Sidalih telah berdampak pada masalah hukum. Partai politik dan masyarakat memprotes bahkan mempermasalahkan dalam sengketa administrasi dan sengketa  proses pada Badan Pengawas Pemilu. Pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 sejumlah parpol yang tidak lolos verifikasi administrasi menolak keberadaan Sipol yang dijadikan syarat sah dalam verifikasi partai politik.

Tantangan aspek hukum atau regulasi terhadap aplikasi sistem digitaliasi pemilu perlu dikaji lebih mendalam.  Suatu  kebijakan  perlu diatur melalui regulasi sehingga memiliki legitimasi yang kuat dalam pelaksanaannya.

Dalam mendesain perencanaan teknologi informasi pemilu, penyelenggara pemilu perlu mempersiapkan dengan baik terhadap penggunaan teknologi informasi serta kebijakan teknologi informasi yang digunakan dalam setiap tahapan pemilu sehingga pengguna teknologi dapat memahaminya dengan baik.  Akselarasi teknologi informasi sebagai transformasi digitalisasi pemilu perlu jaminan yuridis yang kuat dari aspek hukum agar pemilu dapat terpercaya dan memiliki kepastian hukum.

Di samping itu, penyelenggara pemilu perlu memastikan atas jaminan keamanan terhadap penggunaan teknologi informasi yang diterapkan dalam pemilu. Penerapan teknologi informasi pemilu oleh KPU sebaiknya memperhatikan prinsip prisip dasar antara lain: menjaga transparansi dan etika, memastikan keamanan (security) yang akan diterapkan, memastikan akurasi data yang dihasilkan oleh teknologi, efektifitas dan efisiesi biaya, keberlanjutan teknologi, fleksibilitas dan muda digunakan serta dipercaya masyarakat.

Penerapan dan adopsi teknologi informasi sangat tepat dilaksanakan untuk negara kepulauan seperti di Indonesia karena hal ini akan sangat menghemat waktu dan biaya tidak terlepas dari pentingnya kerahasiaan dan keamanan. Jika kerahasiaan dan keamanan terpenuhi, maka penerapan teknologi informasi sangatlah tepat untuk digunakan. Penerapan teknologi informasi, terkait dengan hasil yang lebih tepat dan akurat serta minimalisasi terjadinya kasus human error selama sistem yang dibangun terjamin dari berbagai ancaman kejahatan.

Untuk memperkuat kerangka hukum sebagai dasar penerapan teknologi informasi pemilu, maka selain pengaturan dalam UU Pemilu dan UU Pemilihan/Pilkada, serta Peraturan KPU yang mengatur teknis pelaksanaan setiap tahapan, maka salah satu instrumen hukum yang menjadi dasar penerapan teknologi informasi oleh KPU adalah dengan diundangkannya Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik Komisi Pemilihan Umum. Peraturan KPU ini diterbitkan sebagai pelaksanaan dari Pasal 60 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.

Dalam PKPU 5/2021 tersebut diatur mengenai: tata kelola SPBE, manajemen SPBE, audit teknologi informasi dan komunikasi, penyelenggara SPBE, dan pemantauan serta evaluasi SPBE. Dijelaskan bahwa Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) adalah penyelenggaraan pemerintahan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memberikan layanan kepada Pengguna SPBE. Sedangkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah suatu teknik berbasis elektronik yang digunakan oleh KPU untuk pengumpulan, pengolahan dan pengamanan, penyebarluasan, dan penggunaan data dan informasi.

Untuk melaksanakan ketentuan dalam PKPU 5/2021 tersebut KPU RI telah menetapkan beberapa keputusan yaitu: 1) Keputusan KPU RI Nomor 13/TIK.03/14/2022 tentang Peta Rencana Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik Komisi Pemilihan Umum Tahun 2021-2025; 2) Keputusan KPU RI Nomor 12/TIK.03/14/2022 tentang Arsitektur Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik Komisi Pemilihan Umum Tahun 2021-2025.

Selain keputusan tentang peta rencana dan arsitektur SPBE, beberapa aplikasi teknologi informasi telah ditetapkan sebagai aplikasi khusus KPU dengan Keputusan KPU RI. Aplikasi-aplikasi tersebut diantaranya: Sistem Informasi Data Pemilih Berkelanjutan (Sidalihjut) dan portal Lindungihakmu yang ditetapkan dengan Keputusan KPU Nomor 81 Tahun 2022 tentang Penetapan Aplikasi Sistem Informasi Data Pemilih Berkelanjutan dan Portal Lindungihakmu Sebagai Aplikasi Khusus Komisi Pemilihan Umum. Kemudian aplikasi Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) yang ditetapkan sebagai aplikasi khusus KPU dengan Keputusan KPU Nomor 195 Tahun 2022.

Peraturan KPU dan Keputusan KPU terkait SPBE di atas, menjadi landasan hukum penerapan teknologi informasi oleh KPU. Dengan demikian, dari aspek kerangka hukum, penerapan teknologi informasi KPU semakin mendapat jaminan hukum dalam implementasinya.

Penutup

Penyelenggaraan pemilu dan pemilihan/pilkada harus menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. Penyesuaian tersebut diantaranya dimaksudkan agar supaya teknis penyelenggaraan pemilu/pemilihan dapat semakin efektif dan efisien. Namun demikian dari aspek hukum, penggunaan teknologi informasi harus dilindungi atau memiliki dasar hukum dalam pemanfaatannya. Tanpa memerhatikan aspek hukum, maka penerapan teknologi informasi berpotensi menimbulkan masalah hukum yang dapat mengganggu jalannya sebuah tahapan pemilu.

Selain UU Pemilu dan UU Pemilihan/Pilkada serta Peraturan KPU yang mengatur teknis penyelenggaraan tahapan pemilu/pemilihan, kini KPU memiliki dasar hukum lainnya yang dapat menjadi dasar penerapan teknologi informasi yaitu PKPU Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan SPBE di lingkungan KPU. Produk hukum lainnya seperti Keputusan KPU sebagai pelaksanaan PKPU tersebut juga telah semakin menguatkan penerapan aplikasi teknologi informasi yang digunakan KPU.

Dengan perkembangan kerangka hukum tersebut di atas maka penerapan teknologi informasi pemilu oleh KPU telah memperkuat pengamanan dari aspek hukum. Karena memang seharusnya demikian, bahwa pemilu yang demokratis dalam sebuah negara hukum, haruslah mendasarkan diri pada kerangka hukum pemilu (electoral legal framework).

Oleh:

Rendy V J Suawa

(Anggota KPU Kab. Minahasa; Divisi Hukum dan Pengawasan)