KANALMETRO.com – Setelah sekian lama bekerja di Gereja, para karyawan muslim ini pun mengaku telah terbiasa. Karena diawal bekerja sebagai karyawan Gereja, beberapa orang ini menyatakan sempat canggung karena mereka beragama muslim.
Bahkan para karyawan muslim pun diminta untuk tetap menjalankan ibadah puasa dan sholat ketika sudah waktunya meski bekerja di lingkungan Gereja. Dan hal itulah yang terlihat pada Gereja Katolik Santo Laurensius Alam Sutera Serpong di Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Di Gereja itu ada sekitar 12 karyawan beragama Muslim dari total keseluruhan 31 orang pekerja.
Karena walau seharinya bekerja di lingkungan Gereja, para karyawan muslim itu tetap menjalankan puasa seperti biasanya selama bulan Ramadhan. Karena dari pihak Gereja tidak melarang ketika mereka akan melaksanakan ibadah, baik sholat hingga tadarus Al-Quran.
Seperti dilansir pada suara.com, Minggu (18/4/2021), salah satu karyawan yang beragama muslim di Gereja itu yakni Firda Silvina. Di sekitar dua tahun belakangan ini, dirinya bertugas sebagai petugas kebersihan.
“Menjalankan puasa di lingkungan Gereja sama saja seperti di tempat kerja lainnya atau di rumah. Karena disini tidak ada perbedaan sama seperti di tempat kerja lain. Bahkan toleransi antar agama itu benar-benar terjaga, Nggak ada larangan apapun. Contohnya seperti saya menggunakan hijab, tak ada larangannya. Hijab ini sebagai tanda bahwa saya muslim dan bekerja di gereja Katolik ini,” katanya.
Diceritakannya, jika dalam waktu normal, mereka bekerja mulai dari sekitar pukul 07.00 hingga 16.00 WIB. Namun semenjam ada pandemi Covid-19, karyawan bisa pulang lebih awal, yakni pukul 14.00 WIB.
Bahkan dikatakannya jika tak mempermasalahkan adanya aktivitas agama muslim disana seperti sholat, ngaji dan lainnya. Namun hal itu tak dilakukan pada sembarang tempat.
“Tapi tidak bisa disembarang tempat. Karena kita juga nggak bisa berdoa kalau ada tanda-tanda (salib) itu di sini. Jadi milih-milih tempat. Buat sholat kita dikasih satu ruangan khusus yang bersih dan nyaman. Biasanya itu juga dipakai sama umat muslim lain yang berkegiatan di Gereja,” jelasnya.
Silvi juga menceritakan ketika awalnya akan bekerja di Gereja yang tak pernah disangkanya, bahkan seperti adanya rasa canggung. Dirinya mengaku sempat mengalami pergolakan batin. Apalagi dia sudah terbiasa berhijab dan belum pernah sama sekali masuk kedalam Gereja. Sehingga sempat adanya terasa aneh ketika bekerja di tempat ibadah umat lain.
“Awalnya iya ada perasaan, tapi karena tuntutan kerja gue harus ada di Gereja’. Itu awal-awal mungkin sampai tiga bulan. Masih nggak nyangka dan nggak nyaman sih sebenarnya karena di sini berhubungan langsung sama umat non-muslim,” kata Silvi.
Bahkan pula sempat mendapat ejekan dari temannya saat awal bekerja, tetapi tak dipedulikannya dengan tetap bertahan. Apalagi tidak ada masalah dengan pihak keluarganya, melainkan hanya temanya yang kadang ada usilan-usilan atau ejekan.
“Tapi kembali lagi ke saya. Karena saya kerja itu buat diri saya bukan mereka. Toh kalau ikutin apa kata mereka juga, mereka nggak biayain saya,” tegas perempuan berusia 23 tahun itu.
Hal lain pula ketika diawali kerja, hampir semua karyawan non-muslin dan umat yang akan beribadah bertanya lantaran merasa heran memakai hijab tapi bekerja di Gereja. Namun dirinya hanya menjawab karena muslim jadi wajar menggunakan hijab.
Seiring waktu berjalan akhirnya mulai terbiasa. Apalagi mendapat sikap ramah dari karyawan lain, Pastor maupun Dewan Paroki hingga membuatnya betah bekerja.
“Sekarang sudah nyaman karena karyawannya, Pasturnya, Dewan Paroki dan semuanya nggak ada yang beda-bedain kita muslim mereka Katolik. Dari situ akhirnya mulai merasa nyaman,” ucapnya sambil bersyukur.
Sebagai petugas kebersihan, Silvi bertugas membersihkan seluruh area bagian Gereja yang dibagi dalam tim. Dia pun sudah terbiasa membersihkan bagian altar serta patung-patung yang ada di dalam Gereja.
Sementara Warsih, seorang karyawan muslim lainnya yang telah bekerja sebagai petugas kebersihan selama tujuh tahun mengatakan, menjalani puasa Ramadhan di lingkungan gereja tak jauh berbeda dengan di rumah. Tak ada larangan apapun. Aktivitas sholat dan mengaji tetap diperbolehkan.
“Puasa di gereja biasa aja, karena emang sudah biasa. Nyaman-nyaman aja,” katanya.
Begitu juga dengan Ismail. Lelaki 50 tahun itu mengatakan jika selama Ramadhan, pihak gereja memaklumi pekerjaan yang dilakukan tidak terlalu ekstra.
“Pihak Gereja termasuk Romo mengerti jika kita lagi puasa, Dia tak terlalu menekan, kerjain aja semampunya,” ujarnya yang juga mengaku diawal bekerja sempat merasa canggung dan bingung karena lingkungan kerjanya merupakan tempat ibadah agama lain.
“Awalnya memang kita bingung. Karena saya muslim bekerja di lingkungan gereja. Saya melakukan ibadah selana Ramadhan juga bingung, takutnya ada salah paham bahwa masalah agama dibawa ke lingkungan gereja. Ternyata, nyatanya enggak seperti yang dibayangkan. Kita sama-sama mengetahui, kalau Ramadhan ya sama-sama menghargai,” ungkapnya.
Sementara Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Katolik Santo Laurensius Tangsel Fransiskus Hartapa mengatakan, pihaknya tidak pernah mempersoalkan aktivitas puasa yang dijalankan karyawan muslim di tempatnya.
Dimana mereka tetap bisa menjalankan ibadahnya seperti sholat dan sebagainya secara bebas. Karena itu ibadah masing-masing, bahkan kita saling mengingatkan kalau waktunya sholat dan Jumatan pun disuruh Jumatan. Bahkan menurutnya, biasanya ketika menjelang perayaan Lebaran, banyak umat yang membawa bingkisan THR bagi karyawan muslim. (marcel/suara.com)