Hoaks bermuatan isu agama dari tahun 2019, kembali beredar di awal Oktober lalu, seperti Puan Maharani: Hapus Pendidikan Agama Islam Jika Ingin Negara Maju.
Faktanya, Puan Maharani tidak pernah menyatakan hal itu. Berita aslinya yang tayang di CNN Indonesia pada 4 Mei 2018 berjudul Puan: Insyallah 2019 PDIP Jadi Partai Pemenang Pemilu. Singkatnya, judul berita asli dari CNN itu telah diubah lalu diedarkan lewat media sosial Twitter.
Hoaks tersebut kembali beredar saat Puan Maharani digadang-gadang maju dalam Pemilihan Presiden 2024. Namun tidak hanya Puan. Pada 14 Oktober lalu, video palsu tentang Uskup Katolik Se-Jabodetabek mendeklarasikan diri mendukung Anies Baswedan sebagai Presiden, beredar ramai di Youtube dan Whatsapp. Informasi ini beredar tak lama setelah Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon yang mereka usung pada Pemilu 2024.
Keuskupan Agung Jakarta telah membantah kabar itu. Bahkan cuplikan video pertemuan Anies dan para Uskup berasal dari peristiwa yang berbeda, tidak terkait dukung-mendukung calon.
Dua hoaks di atas adalah contoh bagaimana isu agama seringkali digunakan sebagai hoaks di momen pemilu. Hasil penelitian Wegik Prasetyo dari Research Centre for Politics and Government (PolGov), menyebutkan hoaks isu agama di Indonesia sebenarnya telah dipakai sejak Pemilu 2014, kemudian pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, dan Pemilihan Presiden 2019.
Hoaks yang mengandung isu agama digunakan karena sangat efektif memobilisasi suara dalam pemilu. Sementara para pemilih cenderung mengutamakan isu dan figur tokoh yang merepresentasikan agama tertentu daripada memilih untuk mendukung kandidat yang menawarkan program politik yang relevan dengan kepentingan publik.
Sementara penggunaan hoaks isu identitas, seperti isu agama, berdampak serius pada terbentuknya perpecahan atau polarisasi di masyarakat. Laporan BBC pada 2019, berdasarkan hasil survei Polmark, sebanyak 5,7 persen responden merasa bahwa Pilkada DKI Jakarta 2018 telah merusak hubungan pertemanan. Angka ini naik dari survei serupa pada Pipres 2014. Saat itu, sebanyak 4,3% pemilih menganggap pilpres memicu keretakan hubungan pertemanan di masyarakat.
Oleh karena itu, penting bagi kita semua tidak langsung memercayai saat menerima informasi politik yang membawa isu agama. Bisa jadi, informasi itu adalah palsu yang dapat mengancam kerukunan umat beragama di Indonesia.
Agar Anda tidak mudah terpengaruh, mari kenali bagaimana hoaks politik bermuatan agama dibuat dan beredar pada Pemilu 2019:
1. Disebarkan oleh Situs tidak kredibel
Informasi bohong biasanya dimuat di situs abal-abal atau tidak kredibel, lalu disebarkan melalui media sosial. Pada Maret, menjelang Pemilihan Presiden 2019, sebuah situs yang beralamat di duniamuallaf.blogspot.com memuat artikel berjudul Ternyata Presiden Sekarang Sebenarnya Kristen ! Dan Pemerintahan Sekarang Di Kuasai Kristen ! >> Pantas Banyak Kebijakannya Yang Anti Islam !
Klaim keliru bahwa Jokowi beragama Kristen awalnya disebarkan oleh Tabloid Obor Rakyat pada 2014. Tabloid tersebut adalah media propaganda untuk menyudutkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla selama Pemilu 2014. Belakangan pemimpin di balik Tabloid Obor Rakyat divonis bersalah pada 2016. Faktanya, Jokowi beragama Islam. Informasi seperti ini menciptakan sentimen terhadap agama tertentu.
Situs dunia muallaf tidak memenuhi unsur sebagai portal media yang kredibel karena tidak memuat siapa penanggung jawab dan alamat media. Padahal ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 12 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mewajibkan media mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka.
Jika Anda tidak dapat menemukan informasi siapa penanggung jawab atau alamat situs media, Anda patut curiga dan tidak mempercayai isinya!
2. Menyunting foto
Perkembangan teknologi memungkinkan seseorang untuk menyunting foto seolah-olah tampak seperti aslinya. Pada Desember 2018, foto Prabowo Subianto mengenakan pakaian uskup di sebuah gereja menyebar di Twitter.
Faktanya, Foto asli dalam berita itu bukanlah Prabowo melainkan Uskup Agung Medan Mgr Anicetus B Sinaga yang sedang memberikan kotbahnya pada peresmian pembangunan gereja Paroki di hadapan sekitar 4000 umat dan undangan di Jalan Letnan Rata Peranginangin, Kabanjahe, Minggu 16 Februari 2014. Foto aslinya dimuat di Harian Sib pada 17 Februari 2014.
Anda bisa gunakan alat pencarian gambar terbalik seperti Google Image atau Yandex Image untuk menelusuri sumber foto aslinya.
3. Menyunting judul berita online
Selain menyunting foto, modus lainnya dengan mengubah atau mengganti judul berita media online dengan narasi menyesatkan. Setelah itu, pembuatnya akan menangkap layar (screen capture) judul berita palsu itu, lalu menyebarkannya lewat situs abal-abal maupun media sosial.
Hoaks semacam ini pernah menimpa Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat masa kampanye 2019. Saat itu, sebuah situs abal-abal mengedarkan tangkapan layar berita berfoto Ma’ruf Amin dengan judul, Jika Saya Kalah, Umat Islam Akan Berdosa dan Masuk Neraka Semua!! Faktanya, judul tersebut diubah dari berita aslinya di Okezone.com yang dimuat 19 Januari 2019, berjudul Jika Kalah di Pilpres, Ma’ruf Amin: Orang Jawa Barat Akan Malu Semua.
Cara termudah untuk memastikan kebenaran informasi adalah memeriksanya dan membandingkan dengan sumber terpercaya. Sejak 2019, banyak kanal cek fakta yang bisa membantu Anda untuk menemukan kebenaran dari sebuah informasi. Berikut adalah langkah-langkahnya:
1. Gunakan mesin pencari seperti google.com. Lalu masukkan kata kunci sesuai informasi yang Anda terima dari media sosial, seperti “Puan Maharani hapus pendidikan agama Islam”, “Uskup Katolik deklarasi dukung Anies Baswedan”, atau “Prabowo pakai jubah uskup”.
2. Setelah memasukkan kata kunci, mesin penelusuran akan memunculkan sejumlah situs cek fakta yang telah memeriksa kebenaran informasi tersebut. Baca artikel tersebut hingga selesai lalu sebarkan tautannya ke media sosial agar keluarga atau kawan-kawan Anda tidak termakan hoaks serupa.
3. Buka situs cekfakta.com dan masukkan kata kunci sesuai informasi yang ingin Anda cek. Situs cekfakta.com adalah platform untuk melawan hoaks, kolaborasi antara Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia dan Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, bersama 24 media kredibel. Platform tersebut berisi kumpulan artikel cek fakta yang telah dibuat oleh sejumlah media.
4. Tanyakan ke hotline Whatsapp yang telah dimiliki oleh beberapa organisasi cek fakta yakni Mafindo 0896-8006-0088, Tempo 0813-1577-7057, dan Liputan6.com 0811 9787 670.
Penulis: Fransiskus Talokon
Editor: Ika Ningtyas