KANALMETRO, SULUT – Bupati Minahasa Selatan (Minsel), Franky Wongkar dinilai telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena meminta (Lalang Rondor Malesung) Laroma agar tidak menjalankan ritual bulan Purnama.
Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur, Denni Pinontoan mengatakan bahwa Bupati Minsel tidak boleh tunduk kepada pimpinan-pimpinan agama Kristen yang menolak Laroma.
Sehingga dirinya menyesalkan sikap Bupati Minsel yang membuat Laroma tidak menjalankan ritual rutin ketika bulan purnama.
“Sebagai pimpinan, Bupati harus berdiri untuk semua orang. Patuh pada hukum yang melindungi segenap warganya untuk secara leluasa menjalankan keyakinan sesuai kepercayaannya masing-masing,” tegas Pinontoan, Kamis (14/7/2022).
Menurutnya ada paradoks, ambiguitas, atas langkah politis Wongkar yang dinilainya sangat diskriminatif. Pasalnya, banyak organisasi atau komunitas yang di malam purnama mengamalkan tradisi dan ritual Malesung di Watu Pinawetengan secara bebas.
Tetapi pada waktu yang sama, para penghayat dari Laroma dilarang melakukan ritual Maso’ Sico’o sebagai tradisi leluhur Minahasa yang sudah eksis diperkirakan antara abad ke-4 dan 7 Masehi.
“Bupati harusnya melindungi dan memberikan jaminan hak-hak asasi berkepercayaan, termasuk agama lokal dalam hal ini Laroma dan lainnya,” tegas Pinontoan.
Hal lain yang penting harus dilakukan negara saat ini bahwa aparat segera memroses para pelaku perusakan Wale Paliusan, tempat Laroma rutin mengamalkan ritual Maso’ Sico’o.
“Apappun alasannya pelaku harus diproses secara hukum. Ada mekanismenya. Untuk membuktikan keseriusan pemerintah dalam menangani tindak kriminal bernuansa agama yang menimpa penganut Malesung,” tambahnya.
Baginya, pembiaran aparat penegak hukum terhadap pelaku yang sejak 21 dan 22 Juni lalu melakukan penghancuran Wale Paliusan di Tondei Dua adalah bentuk pelanggaran HAM.
Begitu juga dengan oembiaran polisi dan aparat hukum lainnya terhadap penghancuran tersebut sama artinya negara melakukan kejahatan HAM (crime by omission).
Justru dikatakannya bahwa, korban jangan diperlakukan seperti pelaku. Sehingga aparat kepolisian seolah memberikan pembenaran kekerasan. Bukan kriminalisasi terhadap korban karena tuduhan tak berdasar memicu konflik.
“Jangan diputarbalikkan. Laroma adalah korban. Harus dilindungi, dijamin hak-haknya dan mendapatkan keadilan hukum,” tegasnya.
Pinontoan berharap masyarakat harus menerima pemeluk yang bukan Kristen di Minahasa. Tidak hanya menghormati Islam, Budha, Hindu, Yahudi, dan Konghucu.
Tetapi masyarakat Minsel harus memperoleh edukasi serta literasi multikultural, karena Minahasa terdiri dari banyak agama atau kepercayaan dan etnis.
“Masyarakat tidak bisa melakukan resistensi terhadap Laroma. Secara kultural, Minahasa sangat beragam. Hormatilah keberagman ini,” pungkasnya.
Sementara Bupati Minsel dalam sosialisasi hak-hak warga Penghayat Kepercayaan Terhadap TYME, bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Selasa (12/7/2022) di Amurang mengatakan pihaknya selalu mengikuti aturan hukum perundang-undangan yang berlaku dan melindungi segenap organisasi bahkan Lembaga keagamaan di wilayahnya dalam menjalankan roda pemerintahan.
“Kita ini negara hukum dan harus taat terhadap hukum. Kalau itu legal ya harus dan kalau belum memenuhi syarat mereka juga harus patuh dan taat terhadap hukum untuk mengurus persyaratan yang diamanatkan oleh aturan,” pungkas Wongkar dilansir dari Palakat.id.